Politikamalang – Jakarta, pada awal tahun 2022 adalah masa dalam penentuan pemilihan umum 2024 yang di tetapkan pada tanggal 14 Februari 2024 dengan pemilihan serentak di seluruh wilayah Indonesia. Serta pada tanggal 27 November 2024 sebagai hari pemungutan suara.
Bagaikan perlombaan lari estafet yang harus mencapai titik point di tanggal yang telah ditetapkan sebagai tanggal politik. Sehingga garis finishnya di tentukan pada tanggal tersebut. Dengan adanya penetapan jadwal penyelenggaraan pemilu 2024, partai politik di uji selama dua tahun untuk melatih diri, menguji kemampuan setiap partai dan di uji dengan konsistensi elektabilitas partai selama kurang lebih dua tahun ke depan.
Menilik kembali pada pemilihan umum pada tahun 2019, kita melihat ujung tombak partai politik adalah para generasi milenial yang semakin cakap dan dewasa dalam memilih sikap politik. Sehingga ini menjadi target para partai politik untuk dapat menaikan elektabilitas dan meningkatkan kinerja partai sampai tahun 2024.
Tantangan Milenial Dalam Pemilu 2024
Pertama, tantangan dinamika politik. Tantangan itu tak dapat dielakkan lantaran pemilu serentak 2024 punya makna strategis bagi masyarakat dan tentunya partai politik, yakni sebagai menentukan pemimpin tertinggi di Indonesia dan sebagai penobatan partai politik yang terkuat dan konsisten. Di sisi lain, partai akan berjuang habis-habisan untuk bisa meraih kemenangan sebesar-besarnya. Dengan di panaskannya mesin partai pada pilkada 2020 menjadi titik awal untuk menuju tahun 2024.
Kedua, tantangan figur. Harus diakui bahwa perjalanan pemilu sejak 2014 hingga kini masih menggambarkan kekuatan figur sebagai modal utama dalam merengkuh kemenangan pemilu. Figur telah menggeser dominasi mesin parpol dalam memengaruhi pilihan. Dalam kontestasi pemilu, figur yang diusung jauh lebih penting ketimbang partai yang mengusung.
Apalagi, perilaku pemilih di indonesia memang menunjukkan figure identification (figure id) jauh lebih kuat ketimbang party identification (party id). Selain itu, faktor efek ekor jas (coat-tail effect) membuat partai politik berlomba mencari figur (kandidat) yang potensial menang meski bukan dari kadernya sendiri. Sehingga impor figur ataupun caplok-mencaplok antarkader partai –seperti yang terjadi pada pilkada di tahun 2020 sebelumnya– akan kembali dilakukan sebagai usaha memenangi kompetisi pemilu.
Ketiga, tantangan pemilih. Dilihat dari demografi pemilih, pemilu serentak 2024 akan didominasi pemilih milenial. Kondisi itu perlu menjadi catatan penting lantaran tren kepemimpinan milenial juga sedang naik daun. Milenial kini bukan sekadar objek politik, tapi sebagian besar sudah menjadi subjek politik.
Terpilihnya 52 anggota DPR RI dari kalangan milenial, 3 menteri dan 2 wakil menteri dari kelompok milenial, serta 7 staf khusus presiden juga dari generasi milenial menunjukkan bahwa gelombang kepemimpinan milenial sedang terjadi di indonesia. Tak tertutup kemungkinan tren itu juga akan berlangsung dalam kontestasi pemilu serentak 2024.
Keempat, tantangan kampanye. Mulai ada pergeseran pola kampanye seiring hadirnya era technopolitic. Mengutip victor sampredo dalam introduction: new trends and challenges in political communication (2011), technopolitic dimaknai sebagai fenomena meleburnya antara teknologi dan politik. Technopolitic membuat wajah politik berubah. Sebagai contoh, pola-pola mendekati masyarakat pemilih (kampanye) secara konvensional seperti pengerahan massa serta pemasangan baliho dan spanduk akan mulai bergeser. Kampanye akbar mulai bergeser menjadi berbasis personal dan kampanye di media massa mulai bergeser ke media sosial.
Mengingat, berdasar data Wearesosial Hootsuite 2019, pengguna media sosial di indonesia mencapai 150 juta atau 56 persen dari total populasi, sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48 persen dari populasi. Artinya, penggunaan teknologi informasi dalam sebuah kampanye politik mutlak diperlukan. Meskipun harus disadari bahwa kehadiran teknologi dalam politik ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi dapat menjadi sarana kampanye yang murah dan mudah, namun di sini lain bisa mendatangkan ”bencana sosial” berupa hoaks yang tak terkendali.
Sebagai contoh, masyarakat anti fitnah indonesia (mafindo) menemukan bahwa konten politik menjadi isu paling dominan dalam penyebaran hoaks. Saat agenda kontestasi politik, jumlah produksi hoaks politik rentan meningkat. Berdasar data mafindo selama periode juli–september 2018, ada 230 hoaks terverifikasi. Sebanyak 58,7 persen di antaranya bermuatan politik; 7,39 persen agama; 7,39 penipuan; 6,69 persen lalu lintas; dan 5,2 persen kesehatan.
Dalam hal ini, partisipasi politik generasi milenial tentu sangat berpengaruh karena dari persentase jumlah pemilih, generasi milenial menyumbang suara cukup banyak dalam keberlangsungan Pilkada 2020 ini. Kepentingan elit politik yang secara langsung terlibat dalam penyelenggaraan aktivitas politik, lebih mementingkan kepentingan golongan dan terkesan menghambat keterlibatan pemuda/ milenial dengan ideologi yang dibawa.
Dengan peran generasi milenial sebagai pemilih yang memiliki sumbangsih terhadap suara hasil pemilihan yang cukup besar, maka posisi generasi milenial menjadi sangat strategis.
Kekuatan Politik Milenial
Generasi milenial banyak dibahas karena dianggap unik. Generasi ini tidak bisa lepas dari teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Terutama di kalangan generasi milenial, akses internet menjadi pintu utama untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Saat ini, atmosfer media sosial sedang memanas dimana hampir semua media sosial membahas persoalan politik dan Pemilu 2019.
Generasi milenial memiliki potensi yang besar bagi kekuatan politik karena jumlahnya yang banyak. Jumlah populasi penduduk Indonesia yang berusia antara 15-34 tahun saat ini mencapai 34,45% (BPS, 2016). Namun seperti yang dikemukakan sebelumnya generasi ini kurang tertarik terlibat berpartisipasi dalam politik secara konvensional karena berbagai alasan. Karena itu mereka lebih memilih jalur yang lebih mudah diakses untuk berpartisipasi seperti menjadi relawan dan aktivis konsumen melalui media sosial. Generasi milenial juga membantu aparat mendeteksi akun-akun media tak bertanggung jawab.
Ruang-ruang publik digital adalah “arena” milik generasi millenial. Di dalamnya mereka dapat mengeluarkan pendapat, berunding, dan turut mengawal pengambilan kebijakan sehingga negara bisa diawasi. Seturut dengan pernyataan Habermas dalam Kadarsih (2008:2) ruang publik diciptakan dengan tujuan untuk merasionalisasikan dominasi politik dengan memberikan tanggung jawab negara pada warga negara.
Ruang publik versi Habermas ini harus bersifat otonom dan tidak ada intervensi dari pemerintah, dalam hal ini adalah ruang publik publisitas. Ruang publik publisitas disini merujuk pada media massa, media sosial, dan tempat diskusi digital yang dapat digunakan oleh generasi millenial dalam berpendapat sehingga terbentuk demokrasi digital yang baik.
Penggunaan ruang-ruang publik digital ini bila digunakan dengan maksimal dapat menjadi kekuatan politik yang besar dan berpengaruh dalam mengkritik dan mengawal jalannya pemerintahan. Contohnya, demonstrasi menentang UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia berawal dari keresahan masyarakat di media sosial tentang pembuatan UU Cipta Kerja yang terkesan terburu-buru dan merugikan rakyat, setelahnya mahasiswa berkonsolidasi dan melakukan kajian secara online serentak turun ke jalan di kota-kota di Indonesia. Dari contoh ini menunjukkan bahwa peran generasi millenial dalam ruang publik digital sangat besar dan dapat menghasilkan kekuatan politik yang luar biasa.
***
*Penulis: M. Robet Rifqi Habibi., S.Pd
Wasekjend Bidang Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Desa PB HMI
Founder Forum Milenial Desa
Direktur Utama Indonesia Opinion and Policy
**Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi politikamalang.com