Bantah Tolak Pasien Kritis, RS Hermina Malang Akui Kurang Informatif dengan Pasien

Politikamalang
Rumah Sakit Hermina Malang. (Foto: Agus N/politikamalang)

Bagikan :

Bagikan :

Politikamalang – Pasien dengan kondisi kritis, Wahyu Widiyanto, warga Kelurahan Bareng Kota Malang, meninggal dunia dalam perjalanan menuju RSSA, Senin (11/3/2204). Setelah sebelumnya diduga sempat ditolak di Rumah Sakit (RS) Hermina Malang dengan alasan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) penuh.

Namun kabar tersebut dibantah langsung pihak RS Hermina. Wakil Direktur RS Hermina Malang, Yuliani Ningsih saat dikonfirmasi menyampaikan, tidak tepat jika dikatakan pihak RS Hermina menolak pasien kritis tersebut.

Karena dokter sudah melakukan pemeriksaan awal saat pasien masih berada di becak motor (bentor) di depan ruang IGD. Dari hasil pemeriksaan awal, pasien memang dalam kondisi kritis dengan denyut nadi yang lemah dan saturasi 77.

Iklan

“Saat itu dokter yang memeriksa memang tidak menggunakan seragam dan tidak memperkenalkan diri,” jelasnya saat ditemui di RS Hermina Malang, Selasa (12/3/2024).

Terkait kondisi IGD yang penuh, menurut Yuliani, IGD RS Hermina Malang sebetulnya hanya berkapasitas 10 orang. Namun saat pasien Wahyu Widiyanto datang, ada sekitar 15-21 orang di dalam IGD pada saat itu.

Sehingga semua bed sudah terpakai oleh pasien IGD lainnya. Sedangkan dalam kondisi emergency, semua tindakan dilakukan dengan berbaring. Dan berbaringpun itu tidak bisa asal-asalan karena harus tempat tidur yang rata.

“Jadi kami perlu koordinasi dan komunikasi dengan unit lainnya. Sehingga memang butuh waktu. Tidak bisa langsung main ambil (tempat tidur) dari ruangan. Selain itu, RS tidak bisa memeriksa kondisi pasien yang kritis sembarangan tempat,” ungkapnya.

Politikamalang
Wakil Direktur RS Hermina Malang, Yuliani Ningsih. (Foto: Agus N/politikamalang)

Sayangnya upaya pihak RS Hermina tersebut tidak disampaikan kepada keluarga korban. Sehingga keluarga korban berpikir pasien tidak ditangani, sehingga memutuskan untuk membawa pasien Wahyu Widiyanto ke RSSA menggunakan Ambulance relawan Es Teh Anget.

Yuliani mengakui bahwa komunikasi pihak rumah sakit dalam keadaan emergency sangat kurang dan perlu diperbaiki.

“Memang ketika itu tidak kami sampaikan ke keluarga pasien, kalau sebenarnya bed untuk pasien itu sudah mau diturunkan. Bahkan informasinya sudah ada di lift untuk dibawa turun,” ujarnya.

“Itu mungkin yang harus kita perbaiki (komunikasi) dengan pasien. Kami akan memperbaiki secara sistem. Nanti akan kita perbesar juga IGD nya,” tandasnya.

Sementara itu, Romadhoni, anak pertama Wahyu Widiyanto, mengatakan bahwa dirinya yang memangku ayahnya saat berada di bentor. Pada saat di RS Hermina, memang ada dari pihak rumah sakit yang melakukan pemeriksaan pupil mata dan denyut nadi. Sedangkan untuk pengecekan saturasi dilakukan oleh relawan.

Namun setelah diperiksa, pihak keluarga tidak dikonfirmasi apa-apa. Perawat tidak memberikan arahan apapun dan langsung kembali ke dalam.

“Tidak tau itu dokter atau perawat tiba-tiba langsung meriksa Bapak. Pakai seragam warna hijau. Tapi cuma meriksa pupil mata dan denyut nadi. Tidak bicara apa-apa, terus balik lagi ke dalam. Terus Bapak langsung dibawa ke Ambulance oleh relawan menuju RSSA,” ungkap Doni.

Karena itu, ia sangat kecewa dan menyayangkan pelayanan yang diberikan RS Hermina. Terhadap pasien dengan kondisi kritis.

“Kita dari pihak keluarga sebenarnya sudah mengikhlaskan. Tapi kami cuma menyayangkan saja jika kalau dari pihak rumah sakit tidak minta maaf ke kita,” ujarnya.

Senada, Anggota DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi mengaku kecewa dengan kejadian yang dialami sahabatnya, Wahyu Widiyanto. Karena kondisi seperti ini sebenarnya tidak boleh terjadi. Artinya nyawa manusia lebih penting dari apapun.

“Terbukti hari ini, sahabat saya, Wahyu Widiyanto kehilangan nyawa gara-gara penanganan yang salah dari rumah sakit Hermina,” ucapnya.

Menurut Arief, ada sesuatu yang harus dibenahi di rumah sakit ini. Terutama akses informasi kepada pasien maupun keluarga pasien. Dari rumah sakit juga menyadari bahwa ada miss komunikasi.

“Misalnya dari pasien diberi informasi ditunggu sebentar, kami masih menyiapkan beda atau alat lainnya, pasti pasien menunggu. Tapi karena tidak ada informasi dan keluarga pasien harus mencari pertolongan cepat, maka dibantu oleh teman-teman relawan terpaksa harus dibawa ke RSSA,” tuturnya.

“Saya akan terus mengawal masalah ini. Upaya lanjutannya saya akan berbicara dengan Pemerintah Kota utamanya dengan Dinas Kesehatan Kota Malang,” pungkasnya.

Bagikan :

Disarankan

Terpopuler

Terbaru

Regional

Pilihan

Informasi