Share

Presidensi G20 Indonesia : Liberalisme, Polarisasi Internasional, dan Problematika Nasional Yang Terbengkalai

Politikamalang
Nauval Witartono, Ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Banyuwangi. (Foto: Ist/politikamalang)

Share

PolitikamalangJawa Timur, Tahun ini, Indonesia dipastikan menjadi tuan rumah (presidensi) atas pertemuan G20 dari kelompok negara dengan perekonomian besar tersebut, menggantikan Italia yang menjadi presidensi G20 pada 2021. Pertemuan akbar itu rencananya akan digelar pada November 2022. Forum G20 merupakan forum internasional yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa, dibentuk pada 1999 dengan fokus pada perekonomian dan keuangan global.

Pesona G20 memang dapat dikatakan begitu berkilau, wajar saja jika momentum ini menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk dilewatkan. Namun, pada kenyataannya di balik gemerlap diplomasi dalam tiap helatan G20, terdapat berbagai persoalan global yang hingga kini tidak pernah terselesaikan. Bahkan, implikasi yang ditimbulkan menyulut polarisasi tajam bukan hanya di antara negara-negara anggota G20. Mulai dari isu perdagangan bebas, demokrasi, perubahan iklim, hingga dimensi kemanusiaan migrasi ilegal yang tidak mungkin ditangani hanya melalui komitmen politik abstrak yang menjadi produk dari tiap kali helatannya. Pada kenyataannya, semenjak G20 dibentuk pada 1999, kehadirannya selalu mendapat resistansi keras dari kelompok aktivis sosial. Presidensi G20 Indonesia sampai hari nampaknya belum sama sekali memantik reaksi kritis selain optimisme untuk bersama – sama menyukseskannya dalam rangka upaya pemulihan nasional. Maka dari itu, kali ini saya mencoba untuk sedikit banyak mengurai tentang Presidensi G20 Indonesia : Liberlisme, Polarisasi Internasional, dan Problematika Nasional yang Terbengkalai dalam rangka meninggalkan catatan kritis atas perhelatan G20 2022 di Indonesia.

Sebagaimana profil singkat G20 yang telah saya jelaskan di paragraf pertama, maka dapat ditafsirkan bahwa Agenda kerja utama G20 ialah memperluas interdependensi perdagangan antarnegara melalui liberalisasi sektor perekonomian domestik. G20 mencoba untuk meminimalisir peran negara dalam hubungan ekonomi internasional dalam rangka meniscayakan persaingan bebas dalam pasar dunia (global market). Hal ini yang kemudian menjadi asumsi paling rasional tentang sinergitas yang terjalin kuat antara G20 dengan International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO).

Iklan

Alasannya sederhana, bahwa antara G20 dan lembaga bercorak liberal seperti IMF, WB, dan WTO sama-sama mengingikan proses berjalannya ekonomi tidak dikontrol negara sehingga dapat eroperasi menurut logika dan kehendak pasar. Dalam konteks inilah kemudian sistem demokrasi mendapati dukungan penuh sebagai legitimator atas ekspansi kebijakan pro perdagangan bebas.

Dalam agenda politik, G20 menjadi forum yang berfungsi sebagai democratic peace broadcaster, yakni prinsip demokrasi berbasis perdamaian yang bertujuan untuk memastikan bahwa negara-negara dengan sistem demokrasi tidak akan saling berperang dan mengedepankan metode damai untuk meresolusi konflik. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa tatanan global yang dikembangkan G20 adalah menyandingkan kepentingan elementer ekonomi liberal dengan pemerintahan demokratis. Hal ini dapat dibukikan dengan hasil yang dideklarasikan tiap kali G20 diselenggarakan yang nyaris identik memuat tiga unsur pokok utama yakni ; menyingkirkan proteksionisme yang merupakan hambatan utama dalam terealisasinya konsep perdagangan bebas, melindungi kedaulatan masyarakat (individu) dengan terus merevitalisasi perananan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mendukung universalisme di berbagai aspek kehidupan.

Catatan kritis dalam helatan G20 adalah sebuah kenyataan bahwa pemerintahan yang bertanggung jawab atas G20 didefinisikan secara parsial sementara tanggung jawab fundamental seperti penjagaan teritori, pengamanan sumber daya nasional, dan penanganan krisis atau konflik nasional tidak lagi diprioritaskan. Mari kita sejenak melihat apa yang terjadi pada KTT G20 Germany yang dihelat di Hamburg pada 2017 silam, begitu ramai nada sumbang yang menyebut liberalisme dan negara liberal menciptakan kesenjangan sosial, mengabaikan pelestarian lingkungan, dan melakukan dehumanisasi imigran. Demonstrasi akbar terjadi tepat didepan arena G20 dimana para aktivis sosial melakukan penolakan keras atas helatan G20. Hal ini dikarenakan fakta ekonomi yang terjadi di banyak negara, termasuk di Eropa, Asia Timur, dan Amerika Utara yang menunjukkan kontradiksi. Di ketiga wilayah, menurut survei Lembaga Pembangunan PBB (UNDP) Maret 2017, selama sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah pendapatan kelas menengah sebesar rata-rata 12–25 persen. Tetapi pada kenyatannya, perkembangan ekonomi tersebut linier dengan tingkat kesenjangan sosial yang semakin lebar. Ada sekitar 450 juta orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari USD 2 per hari. Lebih dari itu, pada kenyataannya KTT Hamburg tidak menghasilkan solusi konkret bagaimana mengatasi ketimpangan global dan justru semakin gencar mempromosikan perdagangan bebas dan demokrasi liberal. Alhasil, apa yang disebut filsuf Saul Alinsky the paradoxes of the liberal state terbukti nyata dalam G20. Kemudian yang paling baru, ditengah Pandemi Covid-19 yang merupakan permasalahan global yang melumpuhkan berbagai aspek kehidupan kenegaraan, G20 pada kenyataanya pun tidak mampu menyelamatkan negara miskin dari krisis. Pada Rabu, 14 Oktober 2020, G20 mengumumkan perpanjangan enam bulan untuk pembayaran tunggakan utang negara-negara miskin yang dilanda oleh pandemi virus corona. Langkah itu tak sesuai dengan harapan negara-negara miskin yang menyerukan setidaknya penundaan selama satu tahun penuh dalam rangka memperkuat prioritas negara untuk memastikan pemulihan ekonomi nasional dapat benar-benar terealisasi sebelum membayar tunggakan utang negara.

Pada helatan G20 2021 mendatang, Indonesia menjadi tuan rumah ditengah polemik global yang belum terselesaikan. Terlebih pada level nasional, terdapat banyak problematika negara yang masih terjadi. Per maret 2022, dalam aspek kesehatan, Pandemi Covid-19 masih berlangsung dimana terdapat varian baru omicron yang menyebabkan pelonjakan signifikan pengidap Covid-19 di Indonesia. Dalam aspek ekonomi, negara belum mampu menunjukkan pemulihan sigifikan, hal ini dapat dibuktikan dengan target pertumbuhanekonomi sebesar 5% – 5,5% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 dinilai Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) tidak realistis ketika melihat jumlah kasus aktif Covid-19 masih tinggi yang menyebabkan negara masih berada pada ketidakpastian ekonomi dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang masih begitu terbatas akibat Pandemi Covid-19 yang tidak kunjung selesai. Belum lagi masalah kemanusiaan yang terjadi di berbagai daerah seperti konflik yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Belum lagi yang terjadi di Ruko-Ruko Raya, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara yang sudah terjadi sejak 2019 silam dan tidak terselesaikan hingga hari dimana tulisan ini dibuat, serta problematika kemanusiaan lain yang terjadi di berbagai daerah. Dalam aspek politik, persoalan timeline pemilihan langsung umum 2024 mendatang masih menjadi perdebatan di kursi parlemen, belum lagi proyek ambisius pemindahan ibu kota negara yang masih banyak menuai pro dan kontra.

Maka pada tulisan ini saya mencoba menitipkan pesan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai pengingat akan esensi keberadaan pemerintah dalam sebuah negara, bahwa barangkali memang Presidensi G20 dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek kenegaraan namun relevansi pelaksanaannya hari ini jelas patut dipertanyakan. Semestinya pemerintah meletakkan prioritas kesejahteraan masyarakat yang secara riil diatas segalanya dan bukan semakin menciptakan disparitas antara negara dan rakyatnya. Daripada berbincang tentang G20, rasanya akan jauh lebih elok ketika pemerintah hari ini untuk bersusah payah merumuskan strategi mutakhir dalam rangka mengoptimalisir upaya pemulihan negara dan memastikan pandemi Covid-19 segera berakhir, mereposisi ekonomi negara hingga dapat menunjukkan pelonjakan signifikan, menyediakan lapangan pekerjaan dalam kuantitas sebesar-besarnya dalam rangka menurunkan tingkat pengangguran, menyelesaikan isu-isu kemanusiaan yang masih terjadi di berbagai daerah, menstabilisasikan ruang-ruang parlementer dalam pembahasan – pembahasan politik yang tidak jauh dari unsur kepentingan pemenangan kontestasi elektoral mendatang dan kembali pada diskursus strategis tentang upaya memastikan terwujudnya masyarakat berkeadilan dan berkemakmuran.

***

*Oleh : Nauval Witartono, Ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Banyuwangi

**Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, bukan menjadi tanggung jawab redaksi politikamalang.com

Editor : Achmad Faizal N Kuncoro