Politikamalang – Kota Malang, 43 hari berlalu, #usuttuntas masih berseliweran di sepanjang kisi jalan Malang Raya. 1 Oktober yang dalam beberapa dasawarsa diperingati sebagai hari kesaktian pancasila, berurai tangis air mata ibu di tahun 2022.
Tepat pada tanggal 3 Oktober, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) resmi dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dengan menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD sebagai ketua dan Menpora Zainuddin Amali sebagai wakil ketua, serta beranggotakan beberapa akademisi, pengamat olahraga, dan purnawirawan TNI & Polri. Hasil investigasi TGIPF kemudian termaktub dalam 124 halaman laporan investigasi yang telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. TGIPF menyatakan bahwa terdapat saling lempar tanggung jawab diantara stakeholder Sepak bola di Indonesia dalam tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan.
Sampai dengan hari ini, publik juga keluarga korban yang berderai air mata atas kepulangan keluarga tercinta masih menunggu hasil resmi dan keputusan yang sah perihal siapa yang paling layak untuk ditetapkan sebagai aktor yang paling bertanggungjawab. 124 halaman hasil investigasi TGIPF belum dirilis ke khalayak publik.
Valentino Jebret sebagai komentator hingga Gilang Widya Pramana sebagai Presiden Arema FC mundur dari posisinya tidak juga menjawab pertanyaan perihal siapa yang paling bertanggungjawab. Semua pihak saling mencuci tangan dan tunjuk menunjuk perihal siapa yang paling layak disalahkan dalam tragedi Kanjuruhan berdarah.
Hemat penulis, beranjak dari berbagai data, fakta, dan peristiwa tragedi kanjuruhan berdarah yang menelan korban sebanyak 135 jiwa dan termasuk dalam salah satu kategori tragedi sepak bola paling mencekam dalam sejarah sepak bola dunia seharusnya menjadi refleksi bersama perihal betapa pentingnya seluruh elemen yang ada di Malang Raya untuk saling bahu membahu dalam meng#usuttuntas tragedi Kanjuruhan berdarah ini. Bukan malah dijadikan sebagai alat kepentingan pribadi atau kelompok dalam mengakumulasi kepentingan-kepentingan pribadi dan/atau kelompoknya. #usuttuntas yang masih menggema di Malang Raya hingga sampai hari ini selayaknya masih menjadi pengingat kemanusiaan bagi kita semua untuk bersama-sama saling bahu membahu guna meletakkan hati nurani bagi pihak keluarga yang telah kehilangan 135 jiwa anggota keluarganya, sekaligus menjadi alarm bagi setiap kelompok di Malang Raya agar tidak menjadikan tragedi sepak bola dan kemanusiaan terbesar sepanjang 1 dekade terakhir ini sebagai alat untuk mengakumulasi kepentingan pribadi dan/kelompok.
Akhir kata dari penulis, 𝙆𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙖𝙝 𝙙𝙖𝙣 𝙣𝙮𝙖𝙬𝙖 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙝𝙖𝙡 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙢𝙖𝙝𝙖𝙡 𝙝𝙖𝙧𝙜𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙖𝙮𝙖𝙧 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙠𝙝𝙞𝙖𝙣𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙧𝙝𝙖𝙙𝙖𝙥 𝙠𝙚𝙢𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖𝙖𝙣.
*Penulis: Muhammad Andi Pratama – Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pembangunan Desa HMI Cabang Malang
**Seluruh isi dalam tulisan ini menjadi tanggungjawab penuh penulis