Politikamalang – Kota Malang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Diksi) terus mendorong Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun Perguruan Tinggi (PT) untuk menerapkan kurikulum Merdeka model Project Based Learning (PBL). Hal ini disampaikan Dirjen Vokasi Wikan Sakarinto ST MSc PhD usai menghadiri Expo Produk Inovasi dan Penguatan Link and Match IDUKA Polinema 2022, di Graha Polinema, Senin (23/5/2022).
Disampaikan Wikan, kurikulum Merdeka model PBL ini lebih fleksibel, tidak kaku, kurikulum yang lebih link and match. Karena itu dari 14 ribu SMK se-Indonesia, 7 ribu SMK sudah mendaftar untuk mempraktikkan atau menerapkan kurikulum Merdeka pembelajaran PBL tahun ini. Dimana dari jumlah tersebut, 900 SMK sudah menerapkan kurikulum ini.
Sedangkan untuk Perguruan Tinggi diakui Wikan memang belum banyak yang menerapkan kurikulum ini.
“Jadi kalau SMK, kami dari pusat yang mengatur kurikulumnya. Sedangkan untuk kurikulum Perguruan Tinggi, yang memutuskan dari perguruan tinggi masing-masing,” terang Wikan.
Karena itu, yang bisa dilakukan Diksi saat ini adalah mendorong para direktur Politeknik, para Rektor atau mungkin Dekan sekolah vokasi se Indonesia agar mengimprove kurikulumnya lebih ke Project Based Learning (PBL). Karena Diksi meyakini cara belajar yang terbaik bagi anak-anak vokasi yaitu dengan mengerjakan project, cari project, bertemu konsumen, presentasi ke konsumen, dikomplain konsumen dimarahin konsumen, dipuji konsumen dapat project.
“Dapat project juga ada kontraknya. Katakanlah kontraknya 90 hari kerja, maka harus diselesaikan. Diselesaikannya pun juga dengan kualitas yang standar, efisiensi cost serta ketepatan waktu,” ucapnya.
Lebih lanjut Wikan menilai bahwa selama ini kurikulum di vokasi baru semi PBL, karena kurikulum vokasi selama ini sudah menerapkan 60 persen praktik dan 40 persen teori. Jadi lebih banyak praktiknya.
“Tapi kalau praktiknya hanya praktik ngelas, praktik bubut, itu belum project pesanan nyata,” ujarnya.
Jadi bisa kebayang kalau mereka sudah praktik ngelas dan praktik bubut tapi tidak ada yang pesan. Mau bagus atau jelek kualitasnya tidak ada yang peduli. Mau tepat waktu atau tidak, yang penting dikumpulkan dapat nilai. Mau cost efisiensinya tinggi atau tidak, tidak peduli juga karena bukan pesanan. Jadi tidak ada tantangannya.
“Artinya kalau kurikulum itu tidak dengan project base learning yang optimum, maka bagi saya itu hanya sekedar menciptakan tukang atau pekerja. Bukan menciptakan calon inovator dan calon entrepreneur yang bisa nukang,” tuturnya.
Menurutnya, dengan kurikulum Merdeka model pembelajaran PBL maka softskill dan karakter pekerjaannya akan di dapat. Sehingga otomatis kalau setiap semester mereka mengerjakan project, berarti mereka akan terbiasa ketemu konsumen.
“Kalau mereka lulus, saya yakin pasti akan banyak yang milih jadi entrepreneur. Karena mereka sudah tau duit, sudah tau konsumen, sudah pernah melayani konsumen. Nah inilah pembelajaran Project Based Learning, belajar sambil mengerjakan project,” tandasnya. (Agus N)