Politikamalang – Kota Malang, Sejumlah kalangan akademisi yang terdiri dari para guru besar dan mahasiswa dari berbagai macam perguruan tinggi di Indonesia sebut saja dari UGM, UI, Unhas, UII, dan lain sebagainya mengeluarkan pernyataan ataupun petisi mengenai kondisi politik kebangsaan menjelang hari pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024.
Petisi tersebut secara tersirat dapat dimaknai sebagai suatu panggilan nurani, tanggungjawab sosial, dan tanggungjawab intelektual oleh para pendidik generasi bangsa untuk meluruskan setiap penyimpangan ataupun penyalahgunaan kekuasaan yang saat ini secara terang-terangan dilakukan dan pertontonkan oleh Presiden Jokowi.
Munculnya para guru besar di ruang publik tersebut mengindikasikan bahwa saat ini bangsa indonesia tengah menghadapi krisis demokrasi dan potensi rusaknya demomrasi indonesia akibat ulah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan politik dinastinya dengan menerobos rambu-rambu aturan dan dengan melakukan berbagai macam cara manipulatif guna memuluskan langkah putranya yakni Gibran Rakabuming Raka untuk dapat berkontestasi di pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 mendampingi Prabowo Subianto. Semua cara dan upaya dilakukan agar anaknya dapat memenangkan kontestasi sehingga dapat melenggang mulus menuju istana.
Memang betul secara prinsipil setiap warga negara sesungguhnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk maju mencalonkan diri menjadi Presiden dan atau Wakil Presiden di republik ini. Namun terlepas dari itu semua langkah Gibran Rakabuming Raka yang notabene merupakan putra dari Presiden Jokowi menuai berbagai macam polemik. Betapa tidak persoalan batas usia yang sebelumnya menjadi penghalang awal Gibran untuk maju karena telah disyaratkan di undang-undang pemilu yaitu minimal berusia 40 tahun mampu disiasati secara tidak langsung dengan “bantuan” dari pamannya yang berada di Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan terhormat karena mempunyai kewenangan untuk membatalakan undang-undang dibuat menjadi lembaga tanpa marwah dan kehormatan akibat ulah Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu Anwar Usman. Mahkamah Konstitusi terkesan bermain mata dengan kekuasaan, lembaga yang seharusnya menjaga pilar-pilar demokrasi agar berjalan sesui pada rulenya seketika kehilangan kepercayaan dan legitimasi publik. Tak ayal muncul berseliweran diberbagai media sosial perihal singkatan MK yang harusnya merupakan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga. Respon negatif tersebut menunjukkan beta kecewanya masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi.
Untuk memuluskan ambisi kekuasaan Presiden dan antek-anteknya tidak hanya berhenti pada mendobrak aturan konstitusi, akan tetapi langkah Presiden Jokowi saat masih terus berlangsung dan lagi-lagi menuai kecaman publik. Tentunya langkah Presiden Jokowi saat ini yang dianggap telah menciderai marwah demomrasi dinilai telah melanggar batas-batas kewajaran sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintah yang masih aktif menjabat. Presiden Jokowi dalam menyikapi momentum Pilpres dan dalam upaya untuk memastikan putranya keluar sebagai pemenang dengan tanpa malu-malu menyampaikan diruang publik bahwa beliau boleh berkampanye dan memberikan dukungan politik kepada calon yang dianggapnya layak memimpin indonesia kedepan, dan tentunya publik tentunya sudah dapat menebak calon presiden tersebut, yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah Prabowo Subianto dan Wakilnya adalah putra Presiden sendiri. Tentunya ingatan kita masih segar dimana secara langsung Presiden Jokowi pernah menyampaikan dimuka publik bahwa beliau tidak akan pernah melanggengkan politik dinasti apalagi sampai dengan mencalonkan anggota keluarganya, akan tetapi pernyatan Presiden tersebut saat ini berbanding terbalik. Belum lagi secara terang-terangan Presiden Jokowi menyakan boleh berkampanye dengan dalil aturan yang berlaku saat ini.
Menanggapi hal tersebut Katua Umum HMI Cabang Malang La Rian Hidayat menyatakan bahwa sudah saatnya kalangan akdemisi dan mahasiswa untuk bersatu padu dalam menyuarakan aspirasinya guna memastikan proses demokratisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada upaya pembegalan demokrasi oleh penguasa. Kita butuh persatuan untuk melawan segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Mahasiswa tidak boleh apatis melihat kondisi kebangsaan hari ini.
Mengingat mahasiswa merupakan elemen dari kontrol sosial, maka sudah seharusnya kita memaknai dan menyambut seruan para guru besar sebagai panggilan “Jihad Demokrasi” untuk menyelamatkan bangsa indonesia dari ancaman kemunduran demomrasi. Jangan sampai sistem demokrasi yang saat ini sudah dibangun dan perjuangkan dengan darah dan keringat oleh para pendulu kita dirusak dan dikebiri oleh tangan-tangan yang haus akan kekuasaan.
Kita jangan berdiam diri melihat kerusakan demokrasi saat ini. Para dosen dan guru besar kita yang ada dikampus-kampus sudah memberikan sinyal bahaya atas kondisi saat ini, tinggal kita sebagai mahasiswa menangkap itu semua dan mengejawantahkan dalam bentuk aksi nyata agar bangsa indonesia dapat diselamatkan dari jurang kehancuran.