Share

Pakar Pendidikan UB: Perkembangan Teknologi Tidak Bisa Menggatikan Interaksi Guru dan Murid

Politikamalang
Pendapat dari pakar pendidikan Universitas Brawijaya, Aulia Luqman Aziz, S.Pd, M.Pd. (Foto: Ist/politikamalang)

Share

PolitikamalangKota Malang, Melihat perkembangan situasi pandemi Covid-19 yang kasusnya terus menurun, Kemendikbudristek pada 24 Maret 2022 lalu melalui Surat Edaran Mendikbudristek Nomor 3 Tahun 2022, mengumumkan pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas.

Dalam Surat Edaran tersebut juga dijelaskan bahwa orang tua/wali peserta didik diberikan pilihan untuk mengizinkan anaknya mengikuti PTM Terbatas atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Menanggapi hal ini, Pakar Pendidikan Universitas Brawijaya (UB) Aulia Luqman Aziz, S.Pd., M.Pd menyampaikan, adanya kebijakan PTM Terbatas kembali menunjukkan ruh asal pendidikan, yakni adanya tatap muka antar guru dan murid.
Dengan adanya pandemi, mau tidak mau tren pembelajaran menggunakan media online mewarnai sistem pendidikan ke depannya. Terdapat berbagai Learning Management System (LMS) yang berkembang dengan berbagai macam mode E-Learning.

Iklan

Perkembangan teknologi yang semakin gencar tersebut menurut Luqman tidak akan pernah bisa menggantikan ruh pendidikan yakni interaksi guru dan murid.

“Sebab, pembelajaran bukan hanya masalah ilmu yang ditransfer saja. Tetapi ada hal lain yang tidak akan didapatkan melalui metode daring, misalnya pendidikan karakter, cara berbicara dan bersikap, sopan santun, adab belajar, kedisiplinan, dan keteladanan lainnya yang dapat bermanfaat untuk murid,” paparnya.

Dosen pada Fakultas Ilmu Administrasi UB ini melanjutkan, konsep blended learning, yakni setengah daring dan setengan tatap muka sebenarnya sudah ada sejak sebelum pandemi. s
Sehingga tidak menjadi suatu masalah, asalkan tidak menghilangkan esensi pembelajaran tatap muka.

Adanya interaksi guru dan murid, disampaikan Luqman juga bermanfaat bagi seorang pendidik untuk dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengembangkan bakat dan minat mereka. Terutama bagi peserta didik di desa yang kurang bisa mendapatkan akses internet untuk pembelajaran daring.

“Kecerdasan itu bermacam-macam. Ada yang suka berinteraksi dengan alam sehingga dapat menjadi ahli geologi atau biologi. Tetapi ada juga yang lebih suka berada di perpustakaan mempelajari teori, bisa menjadi ahli matematika. Inilah tugas pendidik untuk mengarahkan peserta didik agar dapat mengembangkan dan mengupgrade keunggulan mereka,” ungkapnya.

Dengan berbagai kemudahan mendapatkan ilmu karena kemajuan teknologi, maka menurut Luqman perlu adanya perubahan fokus yang awalnya guru sebagai ujung tombak ilmu atau teacher centered leaning, menjadi student centered learning, yakni pusat belajar ada di siswa, dan guru sebagai fasilitator.

“Jadi, dengan guru bergeser sebagai fasilitator pembelajaran adalah dalam rangka memenuhi gagasan Tut Wuri Handayani tersebut. Ini juga disebut dengan metode inquiry. Yakni guru memberi dorongan berupa permasalahan, kemudian murid mencari jawaban, dan menyampaikan hasil pencaritahuannya kepada guru dalam bentuk tugas, project, portofolio, makalah, atau esai,” ucapnya.

Luqman menjelaskan, metode ini sudah dilakukan di Universitas Brawijaya (UB) dengan nama Problem Based Learning (PBL), di mana dosen memberi permasalahan yang sifatnya real dan bersinggungan dengan keadaan nyata, dan mahasiswa mencari solusi atau alternatif pemecahan masalahnya.

Kedua, Case Based Method, yakni mahasiswa diberikan kasus untuk kemudian harus melaksanakan project, diskusi, dan membuat laporan pengerjaan kasus tersebut.

“Guru harus mulai mengubah mindset tidak lagi menjadi sumber ilmu utama tetapi seorang fasilitator. Dengan metode tersebut, murid otomatis juga akan mengubah mindset menjadi seorang pencari ilmu yang aktif, tidak lagi pasif,” harap Luqman. (Agus N)