Politikamalang – Ancaman Politik Uang Elektronik Menggerus Moral Generasi Muda Malang menjadi tema yang cukup menarik. Dalam gelaran Talkshow Milenial Berdialog, di Kafe Robusta, Sabtu (2/9/2023).
Sejumlah narasumber dihadirkan dalam talkshow tersebut. Diantaranya Kasat Intelkam Polresta Malang Kota, Kompol Ferry Dharmawan, S.Psi., S. I.K, mewakili Kapolresta Malang Kota, Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Malang, Hamdan Akbar Safara,S.AP.,M., CEO Hasta Komunika Muhammad Anas Muttaqin serta perwakilan dari Kejaksaan.
Kasat Intelkam Polresta Malang Kota, Kompol Ferry Dharmawan menyampaikan, topik Politik uang cukup menarik untuk dibahas. Pasalnya setiap kali ada konstestasi Pemilu, hal ini pasti sering terjadi. Apalagi di Indonesia yang sangat syarat dengan budaya politik uang.
“Ini menjadi sebuah fenomena karena biaya politik di Indonesia sangat besar. Orang ketika mungkin akan menjadi pejabat politik pasti akan membutuhkan biaya yang besar. Jadi ketika dia menduduki jabatan itu ia akan melakukan hal bagaimana cara untuk mengembalikan modal itu,” jelasnya.
Karena itu menurut Kompol Ferry, politik uang ini sangat menggerus moral. Padahal sudah jelas dilarang melakukan politik transaksional. Tapi pada prakteknya masih banyak dilakukan.
“Untuk mencegahnya salah satu caranya adalah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.
Selain itu, ke depan generasi muda atau aktivis harus bisa merubah sistem tersebut,” tandasnya.
Lebih lanjut, Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Malang, Hamdan Akbar Safara mengatakan, politik uang menjadi masalah akut dan klasik dari dulu. Dan zaman sekarang dalam digitalisasi ada pengembangannya yang intinya tetap politik uang. Yakni transaksi uang secara digital.
“Jadi perlu kita pahami, di Undang Undang Pemilu tidak hanya disebut uang, sembako juga kita bisa tangkap oleh kepolisian dan kejaksaan. Jadi lingkup politik uang itu tidak hanya uang saja,” ujarnya.
Dijelaskan, Bawaslu sebagai penyelenggara fungsi pengawasan lingkupnya tidak hanya dalam penindakan saja. Namun makna fungsi pengawasan di Bawaslu sifatnya ada dua, yaitu pencegahan dan penindakan.
“Jadi pencegahan Bawaslu diberi tugas oleh UU bertugas untuk mencegah terjadinya praktek politik uang. Jadi mengedepankan pencegahannya dulu sebelum bertindak,” tandasnya.
Sementara itu, CEO Hasta Komunika Muhammad Anas Muttaqin menyampaikan, sebagai bentuk respon menyikapi perkembangan zaman di era demokrasi. Ternyata ada celah-celah ataupun ruang abu-abu yang itu bisa menjadi pintu masuk atau bahan diskusi. Salah satunya terkait dengan politik uang lewat transaksi elektronik.
Menurut Anas, politik uang ini seperti halnya memakai kacamata kuda. Dimana sebenarnya orang sudah sama-sama tau tapi pura-pura tidak tau. Karena memang demokrasi di Indonesia ini unik, artinya konteks politik uang ini tidak berbicara tentang Pemilu saja.
“Masyarakat kita sudah terbiasa mengalami proses demokrasi. Mulai dari pemilihan RT RW, Kepala Desa dan lain sebagainya. Jadi secara tidak langsung masyarakat kita sudah terbiasa berinteraksi dengan hal-hal semacam itu,” ujarnya.
Jangankan urusan Pemilu, urusan pemilihan Kepala Desa saja sudah banyak yang mempraktekkan politik uang. Bahkan di beberapa titik itu biayanya lebih mahal daripada nyaleg. Ini sudah bicara prestise, urusan biaya politiknya sudah tidak masuk akal. Karena urusannya harga diri.
“Itu yang membuat akhirnya masyarakat kita terbiasa. Sehingga masyarakat jagakno atau arep-arep,” ucapnya.
Jadi dibawah alam sadarnya, ketika ada proses pemilihan baik itu level apapun, terutama di Pileg. Mereka tidak lagi melihat kualitas calon, kalah dengan hal-hal semacam itu. Peribahasanya gerimis satu bulan kalah dengan hujan deras satu malam.
“Modal sosial, bagaimana kita berinteraksi dengan masyarakat, dengan edukasi politik kepada masyarakat itu penting. Tapi terkadang hal-hal semacam itu dilupakan oleh masyarakat karena kena yang hujan satu malam itu tadi,” ungkapnya.
Mereka sudah tidak lagi bisa membedakan mana calon yang berkualitas mana yang tidak. Karena mereka menilai tidak ada efeknya buat mereka siapa saja yang terpilih. Siapa yang terpilih, tidak akan peduli dengan mereka.
“Ini realitas yang mau tidak mau harus kita akui. Kita memang masih di level itu. Walaupun ada memang masyarakat yang sudah melek politik sehingga mereka datang ke TPS karena memang melihat calonnya,” tuturnya.
Terkait politik uang elektronik lanjut Anas, logikanya lebih mudah terawasi daripada yang tradisional. Kalau yang tradisional tinggal mencari orang untuk membagikan, sejauh itu bukan calon peserta Pemilu yang memberikan, itu susah untuk dibuktikan.
“Tapi kalau transaksi elektronik ada yang namanya jejak digital yang bisa ditracking,” pungkasnya.