Jaringan Moderat Indonesia Lakukan Bedah Buku Intoleransi dan Radikalisme

Politikamalang
Jaringan Moderat Indonesia

Bagikan :

Bagikan :

PolitikamalangJakarta, Relasi agama dan politik ini selalu menarik diperbincangkan. Akademisi, agamawan, politisi, aktivis, bahkan birokrat sama-sama bergairah membicarakan masalah agama dan politik. Ada cukup banyak karya akademik yang mendiskusikan fenomena hubungan agama dan politik ini.

Jonathan Fox, misalnya, seorang profesor ilmu politik di Bar-Ilan University, Israel, telah menulis banyak karya akademik mengenai hubungan komplek dan njlimet antara agama (berbagai agama di dunia) dan politik (berbagai sistem dan aktivitas politik).

Hasil survei ini menunjukkan adanya pluralitas sikap terhadap agama dan politik. Pemerintah yang mendukung maupun membatasi ruang gerak agama sama-sama besarnya. Satu sisi, banyak pemerintah yang “mengunci” peran sentral agama di publik, sementara di pihak lain banyak juga agama yang mempengaruhi dan mendikte dunia politik.

Iklan

Jaringan Moderat Indonesia sebagai lembaga yang komitmen memberikan literasi, menanamkan nilai-nilai toleransi dan semangat moderasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengadakan Bedah Buku yang ditulis oleh seorang Tokoh sekaligus pengamat gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia Cak Islah Bahrawi dengan Judul “Intoleransi dan Radikalisme Kuda Troya Politik dan Agama”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Kamis tanggal 24 Februari 2022 bertempat di Waroeng Sadjoe Tebet, Jakarta Selatan.

Saat narasumber memberikan materi di acara bedah buku yang diadakan Jaringan Moderat Indonesia. (Foto: Tim Jaringan Moderat Indonesia)

Kegiatan yang menghadirkan Penasehat Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Andy Soebjakto sebagai Keynote Speech, Penulis Sekaligus Direktur Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi, Direktur Eksekutif IMPARSIAL Al Araf, dan Wakil Ketua Khotib Syuriah PW NU DKI Jakarta Taufik Damas berlangsung dengan khidmat meskipun kegiatan dilaksanakan secara Hybrid karena masih dalam kondisi Perpanjangan PPKM.

Kegiatan dengan tujuan memberikan literasi tentang semangat toleransi dan penanaman nilai moderasi ini dilaksanakan disetiap penjuru Nusantara sehingga kerukunan dalam kehidupan berbangsa bernegara seperti yang dicita-citakan oleh Founding Father bangsa ini bisa dicapai.

Buku ini menjelaskan tentang Intoleransi dan radikalisme adalah kata-kata yang melekat dalam setiap peradaban manusia. Ia bisa hinggap kepada siapa saja, baik kepada yang beragama atau yang tidak mempercayai keyakinan apa pun. Namun bagi manusia yang beragama, setidaknya terdapat keyakinan paling mendasar bahwa semua agama dilahirkan dengan basis kemanusiaan dan kedamaian. Dalam setiap agama selalu ada perbuatan yang dilarang dan ada yang diwajibkan. Dosa dan pahala serta halal dan haram, adalah dua sisi perlambang ketaatan dan pembangkangan. Tapi semua aturan agama tak sesederhana itu. Di tangan manusia, ia berelaborasi dalam berbagai interpretasi. Dari berbagai rujukan dengan disiplin keilmuan agama, manusia lalu menuangkannya secara lebih rinci dalam laku kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut “tafsir-tafsir” itu.

Karena pemikiran setiap manusia selalu berbeda, maka penafsiran terhadap yurisprudensi hukum agama juga akan berbeda. Dari sini lahirlah berbagai perbedaan dari setiap hukum agama, yang kemudian memunculkan madzhab, ijtihad, aliran dan sekte-sekte. Kita semua hari ini adalah pemeluk tafsir-tafsir itu, dan sudah barang tentu semua mengaku yang paling benar. Klaim ini yang seringkali membuat sebagian orang berusaha mendegradasi keyakinan orang lain.

Jangankan terhadap yang berbeda agama, bahkan kepada yang seagama sekalipun. Seringkali karena keyakinan atas tafsir- tafsir, kita melupakan fungsi dasar agama sebagai norma untuk menertibkan akhlak atau moral manusia. Sungguh tidak mungkin agama diturunkan agar manusia saling hujat, saling serang, terlebih lagi saling bunuh satu sama lain.

Dengan beragama, manusia seharusnya tidak gelisah oleh keyakinan orang lain. Karena semua agama sejatinya berkonsep luhur dengan dasar kemanusiaan dan kedamaian. Menganggap paling benar terhadap keyakinan kita, tidak harus dengan menyalah- nyalahkan keyakinan orang lain. Mencintai agama yang kita peluk, tidak harus dengan membenci agama orang lain. Dalam konteks setiap keyakinan, ketika kita mengkafirkan orang lain, orang lain juga akan mengkafirkan kita. Ketika kita menghujat sesembahan orang lain, orang lain juga akan menghujat sesembahan kita. Dalam Islam, sikap ini sangat dilarang. Karenanya, jangan pernah mencaci-maki keyakinan orang lain, karena agama akan kehilangan fungsinya.

Sikap intoleran akan membentuk radikalisme dalam beragama. Tahap berikutnya akan bersentuhan dengan ekstremisme. Dan jika semua proses itu telah diakomodasi, seseorang akan dengan mudah melakukan resiliensi dengan terorisme. Berbagai aksi kekerasan dengan pembenaran agama yang selama ini terjadi, berawal dari sikap-sikap intoleransi itu.

Cak Islah Bahrawi, ini adalah bagian dari upaya untuk mengembalikan agama kepada konsep awalnya: kemanusiaan dan kedamaian. Apa pun agamadan tafsir yang diyakininya, jika dua prinsip ini dijalankan secara utuh maka agama tidak akan melenceng di kalangan penganutnya. Terlebih lagi di tengah gempuran berbagai narasi digital yang penuh ambiguitas hari ini, melalui buku “Intoleransi dan Radikalisme”, masyarakat diharapkan tidak terombang-ambing dalam sekat-sekat kebencian karena perbedaan. Agama akan kembali dalam daya tariknya: sebagai sarana untuk mempertebal rasa kemanusiaan, kedamaian, saling cinta dan saling mengenal satu sama lain.

Andi Soebjakto

Algoritma sosial yang memicu benturan sosial dengan berbaju agama terus meningkat;

Media sosial tidak bisa dikontrol;

Tantangan kita tidak cuma struktural, tapi juga ideologi transnasional juga terus masuk sehingga kita perlu waspada;

Islah Bahrawi

Setiap agama selalu menghargai perbedaan dan melawan segala bentuk kebencian denhan berlebel agama. Kita adalah pemeluk dari tafsir-tafsir agama.
Radikalisme tidak hanya berlandaskan agama tapi ada juga yang berlandaskan pada ekonomi dan politik.
Kejahatan atas nama agama akan selalu terlihat terhormat;

Orang yang tidak sanggup bertahan dengan peradaban dan tidak sanggup menulis sejarah cenderung ingin merubah sejarah;

Mereka yang menjadikan agama sebagai kendaraan politik sudah terjadi sejak lama;

Orang yang mendebat sejarah sebenarnya adalah orang yang tidak tahu sejarah itu;

Semua kejahatan yang menggunakan agama sebenarnya hanya ingin menormalisasi kejahatan itu sendiri;

Konflik dalam sejarah Islam itu tercermin dalam perang jamal, perang Siffin; perang qurra, perang zab yg ke semua ini perang politik yang mengatasnamakan agama;

Dalam buku saya ini rujukannya sejarah dan filsafat;

Taufik Damas

Nabi pernah bersabda aku diutus untuk memerangi mereka yang menolak kalimat tauhid tapi faktanya nabi tidak pernah melakukan itu, dalam arti memaksa orang untuk masuk Islam;
Ada masalah ditengah masyarakat dan dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk mengujar kebencian.perlu adanya literasi agar masyarakat kita terdidik.

Nabi tidak pernah bercita-cita mendirikan negara Islam. Visi dan misi nabi tercermin dalam kata Madinah;

Sabda nabi orang Islam itu harus setia pada setiap perjanjian yang dibuat dengan siapapun;

Kalau ada yang mengklaim kewajiban menegakkan negara Islam adalah kebohongan besar bahkan bid’ah paling besar;

Al Araf

Dalam toleransi dibutuhkan ruang keterbukaan dengan golongan lain;

Membangun ruang kehidupan yang inklusif. Pengenalan dengan kelompok lain dan membangun dialog;

Yang penting adalah memastikan pemahaman antara para pihak dan dibutuhkan budaya respek;

Dalam kultur Indonesia budaya respek memiliki kadar yang tinggi;

Upaya penanganan terorisme Aan lebih bai dalam bentu pencegahan;

Buku ini adalah upaya literasi terhadap publik agar ruang publik menjadi lebih baik. (Sltn)

(Video: tim Jaringan Moderat Indonesia)

Bagikan :

Disarankan

Terpopuler

Terbaru

Regional

Pilihan

Informasi